1. Sejarah Awal
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945 adalah badan yang menyusun
rancangan UUD 1945. Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28
Mei hingga 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan gagasan tentang "Dasar Negara"
yang diberi nama Pancasila. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang
terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam
Jakarta yang akan menjadi naskah
Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban
menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam
Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus
1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945
dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada
tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa
Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). Nama Badan
ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya diperuntukkan untuk tanah
Jawa saja. Di Sumatera ada BPUPKI untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia.
2. Periode berlakunya UUD 1945
(18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949)
Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat
dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan
mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR
belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet Semi-Presidensial
("Semi-Parlementer") yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan
perubahan sistem pemerintahan agar dianggap lebih demokratis.
3. Periode berlakunya
Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950)
Pada masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah
parlementer. Bentuk pemerintahan dan bentuk negaranya federasi yaitu negara
yang didalamnya terdiri dari negara-negara bagian yang masing masing negara
bagian memiliki kedaulatan sendiri untuk mengurus urusan dalam negerinya.
4. Periode UUDS 1950 (17
Agustus 1950 - 5 Juli 1959)
Pada periode UUDS 50 ini diberlakukan sistem Demokrasi
Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal. Pada periode ini pula
kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar,
masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya.
Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami
rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS
1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan
jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan
ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara
serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil
dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai
pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya
UUDS 1950
5. Periode kembalinya ke UUD
1945 (5 Juli 1959 - 1966)
Perangko "Kembali ke UUD 1945" dengan
nominal 50 sen. Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana
banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan
UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya
memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang
Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada
waktu itu.
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD
1945, di antaranya:
a. Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan
MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara
6. Periode UUD 1945 masa orde
baru (11 Maret 1966 - 21 Mei 1998)
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan
UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi
yang sangat "sakral", di antara melalui sejumlah peraturan:
a.
Ketetapan MPR Nomor
I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD
1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
- Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
7. Periode 21 Mei 1998 - 19
Oktober 1999
Pada masa ini dikenal masa transisi. Yaitu masa sejak
Presiden Soeharto digantikan oleh B.J.Habibie sampai dengan lepasnya Provinsi
Timor Timur dari NKRI.
8. Periode Perubahan UUD 1945
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya
perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD
1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR
(dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar
pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga
dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang
semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah
menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM,
pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta
hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD
1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau
selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali
perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
- Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD 1945
Pancasila Krama
Semboyan
"Bhinneka Tunggal Ika" yang ada pada pita yang dicengkram oleh burung
garuda, berasal dari Kitab Negarakertagama yang dikarang oleh Empu Prapanca
pada zaman kekuasaan kerajaan Majapahit. Pada satu kalimat yang termuat
mengandung istilah "Bhinneka Tunggal Ika", yang kalimatnya seperti
begini: "Bhinneka tunggal Ika, tanhana dharma mangrwa. " Sedangkan
istilah Pancasila dimuat dalam Kitab Sutasoma yang ditulis oleh Empu Tantular
yang berisikan sejarah kerajaan bersaudara Singhasari dan Majapahit. Istilah
Pancasila ini muncul sebagai Pancasila Karma, yang isinya berupa lima larangan
sebagai berikut:
1. Melakukan tindak kekerasan
2. Mencuri
3. Berjiwa dengki
4. Berbohong
5. Mabuk (oleh miras)
1. Melakukan tindak kekerasan
2. Mencuri
3. Berjiwa dengki
4. Berbohong
5. Mabuk (oleh miras)
TAP MPR
NOMOR III TAHUN 2000 TENTANG SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
NOMOR III/MPR/2000
TENTANG SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS
PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa dari pengalaman perjalanan
sejarah bangsa dan dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan, maka
bangsa Indonesia telah sampai kepada kesimpulan bahwa dalam penyelenggaraan
berbangsa dan bernegara, prinsip supremasi hukum haruslah dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh;
b. bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan atas asas hukum, perlu mempertegas sumber hukum yang
merupakan pedoman bagi penyusunan peraturan perunang-undangan Republik
Indonesia;
c. bahwa untuk dapat mewujudkan
supresmasi hukum perlu adanya aturan hukum yang merupakan peraturan
perundang-undangan yang mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara sesuai dengan tata urutannya;
d. bahwa dalam rangka memantapkan
perwujudan otonomi daerah perlu menempatkan Peraturan Daerah dalam Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan;
e. bahwa Sumber Tertib Hukum
Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 menimbulkan kerancuan
pengertian, sehingga tidak sesuai lagi untuk menjadi landasan penyusunan
peraturan perundang-undangan;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, dan e dipandang perlu menetapkan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Mengingat :
1. Pasal 1 ayat(2), Pasal 2, dan
Pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-produk
yang berupa Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
Republik Indonesia;
3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/1978 tentang Perlunya Penyempurnaan yang
termaktub dalam Pasal 3 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor V/MPR/1973;
4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
5. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/2000 tentang Perubahan Pertama Atas
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1999
tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Memperhatikan :
1. Keputusan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/2000 tentang Jadwal Sidang Tahunan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tanggal 7 sampai dengan 18
Agustus 2000;
2. Permusyawaratan dalam Sidang
Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tanggal 7 sampai
dengan 18 Agustus 2000 yang membahas usul perubahan beberapa ketentuan pada
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang telah dipersiapkan
oleh Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3. Putusan Rapat Paripurna ke-9
tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia.
M E M U T U S K A N
Menetapkan :
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TENTANG SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
Menetapkan :
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TENTANG SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
Pasal 1
(1) Sumber hukum adalah sumber yang
dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan.
(2) Sumber hukum terdiri atas sumber
hukum tertulis dan tidak tertulis.
(3) Sumber hukum dasar nasional
adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial
bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 2 Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya. Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia adalah :
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3. Undang-undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden yang Bersifat Mengatur;
7. Peraturan Daerah.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3. Undang-undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden yang Bersifat Mengatur;
7. Peraturan Daerah.
Pasal 3
(1) Undang-Undang Dasar 1945
merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan
garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara.
(2) Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia merupakan putusan kebijakan Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan
dalam sidang-sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(3) Undang-undang dibuat oleh Dewan
Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945
dan Perubahannya serta Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia.
(4) Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang dibuat oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,
dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang
berikut.
b. Dewan Perwakilan Rakyat dapat
menerima atau menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dengan tidak
mengadakan perubahan.
c. Jika ditolak Dewan Perwakilan
Rakyat, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut dengan sendirinya
tidak berlaku lagi.
(5) Peraturan Pemerintah dibuat oleh
Pemerintah untuk melaksanakan perintah Undang-undang.
(6) Keputusan Presiden yang bersifat
mengatur dibuat oleh Presiden untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berupa
pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan administrasi pemerintahan.
(7) Peraturan Daerah merupakan
peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi
khusus dari daerah yang bersangkutan.
a. Peraturan daerah propinsi dibuat
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi bersama dengan Gubernur.
b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama
Bupati/Walikota.
c. Peraturan Daerah atau yang
setingkat, dibuat oleh Lembaga Perwakilan Desa atau yang setingkat, sedangkan
tata cara pembuatan Peraturan Desa atau yang setingkat diatur oleh
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang
bersangkutan.
Pasal 4
(1) Sesuai dengan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan ini, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi.
(1) Sesuai dengan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan ini, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi.
(2) Peraturan atau Keputusan
Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, Menteri, Bank Indonesia, Badan atau
Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Pemerintah tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan yang termuat dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
ini.
Pasal 5
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya, dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya, dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2) Mahkamah Agung berwenang menguji
Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-undang terhadap Undang-Undang.
(3) Pengujian dimaksud ayat (2)
bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi.
(4) Keputusan Mahkamah Agung
mengenai pengujian sebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat (3) bersifat
mengikat.
Pasal 6 Tata cara pembuatan
Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dan pengujian Peraturan
Perundang-undangan oleh Mahkamah Agung serta pengaturan ruang lingkup Keputusan
Presiden diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.
Pasal 7 Dengan ditetapkannya
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan ini, maka Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966
tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan
Tata Urutan Peraturan Perundang Republik Indonesia dan Ketetapan MPR Nomor
IX/MPR/1978 tentang Perlunya Penyempurnaan yang Termaktub dalam pasal 3 ayat
(1) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
V/MPR/1973 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 8 Ketetapan ini
mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal
18 Agustus 2000 MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYATREPUBLIK INDONESIA
KETUA,
Prof. Dr. H.M. Amien Rais
WAKIL KETUA, Prof.Dr.Ir. Ginandjar
Kartasasmita
WAKIL KETUA, Ir. Sutjipto
WAKIL KETUA, H. Matori Abdul Djalil
WAKIL KETUA, Drs. H.M. Husnie Thamrin ,
WAKIL KETUA, Dr. Hari Sabarno, MBA, MM
WAKIL KETUA, Prof.Dr. Jusuf Amir Feisal, S.Pd.
WAKIL KETUA, Drs. H.A. Nazri Adlani
WAKIL KETUA, Ir. Sutjipto
WAKIL KETUA, H. Matori Abdul Djalil
WAKIL KETUA, Drs. H.M. Husnie Thamrin ,
WAKIL KETUA, Dr. Hari Sabarno, MBA, MM
WAKIL KETUA, Prof.Dr. Jusuf Amir Feisal, S.Pd.
WAKIL KETUA, Drs. H.A. Nazri Adlani