Tuesday, February 25, 2014

SEJARAH DASAR NEGARA




1.      Sejarah Awal
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945 adalah badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan gagasan tentang "Dasar Negara" yang diberi nama Pancasila. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). Nama Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di Sumatera ada BPUPKI untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

2.      Periode berlakunya UUD 1945 (18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949)
Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet Semi-Presidensial ("Semi-Parlementer") yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan perubahan sistem pemerintahan agar dianggap lebih demokratis.

3.      Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950)
Pada masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah parlementer. Bentuk pemerintahan dan bentuk negaranya federasi yaitu negara yang didalamnya terdiri dari negara-negara bagian yang masing masing negara bagian memiliki kedaulatan sendiri untuk mengurus urusan dalam negerinya.

4.      Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959)
Pada periode UUDS 50 ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal. Pada periode ini pula kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya. Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950

5.      Periode kembalinya ke UUD 1945 (5 Juli 1959 - 1966)
Perangko "Kembali ke UUD 1945" dengan nominal 50 sen. Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, di antaranya:
a.       Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara
b.      MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup




6.      Periode UUD 1945 masa orde baru (11 Maret 1966 - 21 Mei 1998)
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat "sakral", di antara melalui sejumlah peraturan:
a.       Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
  1. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
7.      Periode 21 Mei 1998 - 19 Oktober 1999
Pada masa ini dikenal masa transisi. Yaitu masa sejak Presiden Soeharto digantikan oleh B.J.Habibie sampai dengan lepasnya Provinsi Timor Timur dari NKRI.

8.      Periode Perubahan UUD 1945
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
a.       Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999Perubahan Pertama UUD 1945
  1. Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000Perubahan Kedua UUD 1945
  2. Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001Perubahan Ketiga UUD 1945
  3. Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002Perubahan Keempat UUD 1945




Pancasila Krama
Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang ada pada pita yang dicengkram oleh burung garuda, berasal dari Kitab Negarakertagama yang dikarang oleh Empu Prapanca pada zaman kekuasaan kerajaan Majapahit. Pada satu kalimat yang termuat mengandung istilah "Bhinneka Tunggal Ika", yang kalimatnya seperti begini: "Bhinneka tunggal Ika, tanhana dharma mangrwa. " Sedangkan istilah Pancasila dimuat dalam Kitab Sutasoma yang ditulis oleh Empu Tantular yang berisikan sejarah kerajaan bersaudara Singhasari dan Majapahit. Istilah Pancasila ini muncul sebagai Pancasila Karma, yang isinya berupa lima larangan sebagai berikut:

   1. Melakukan tindak kekerasan
   2. Mencuri
   3. Berjiwa dengki
   4. Berbohong
   5. Mabuk (oleh miras)




TAP MPR NOMOR III TAHUN 2000 TENTANG SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR III/MPR/2000

TENTANG SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :

a. bahwa dari pengalaman perjalanan sejarah bangsa dan dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan, maka bangsa Indonesia telah sampai kepada kesimpulan bahwa dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara, prinsip supremasi hukum haruslah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh;

b. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan atas asas hukum, perlu mempertegas sumber hukum yang merupakan pedoman bagi penyusunan peraturan perunang-undangan Republik Indonesia;

c. bahwa untuk dapat mewujudkan supresmasi hukum perlu adanya aturan hukum yang merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan tata urutannya;

d. bahwa dalam rangka memantapkan perwujudan otonomi daerah perlu menempatkan Peraturan Daerah dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan;

e. bahwa Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 menimbulkan kerancuan pengertian, sehingga tidak sesuai lagi untuk menjadi landasan penyusunan peraturan perundang-undangan;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, dan e dipandang perlu menetapkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Mengingat :
1. Pasal 1 ayat(2), Pasal 2, dan Pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-produk yang berupa Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia;

3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/1978 tentang Perlunya Penyempurnaan yang termaktub dalam Pasal 3 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/1973;

4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;

5. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/2000 tentang Perubahan Pertama Atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

Memperhatikan :
1. Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/2000 tentang Jadwal Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tanggal 7 sampai dengan 18 Agustus 2000;

2. Permusyawaratan dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tanggal 7 sampai dengan 18 Agustus 2000 yang membahas usul perubahan beberapa ketentuan pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang telah dipersiapkan oleh Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;

3. Putusan Rapat Paripurna ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

M E M U T U S K A N

Menetapkan :
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TENTANG SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.

Pasal 1
(1) Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan.
(2) Sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak tertulis.
(3) Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 2 Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia adalah :
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3. Undang-undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden yang Bersifat Mengatur;
7. Peraturan Daerah.

Pasal 3
(1) Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara.
(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia merupakan putusan kebijakan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(3) Undang-undang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya serta Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
(4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dibuat oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
b. Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dengan tidak mengadakan perubahan.
c. Jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut dengan sendirinya tidak berlaku lagi.
(5) Peraturan Pemerintah dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakan perintah Undang-undang.
(6) Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan administrasi pemerintahan.
(7) Peraturan Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan.
a. Peraturan daerah propinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi bersama dengan Gubernur.
b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota.
c. Peraturan Daerah atau yang setingkat, dibuat oleh Lembaga Perwakilan Desa atau yang setingkat, sedangkan tata cara pembuatan Peraturan Desa atau yang setingkat diatur oleh
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

Pasal 4
(1) Sesuai dengan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan ini, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi.
(2) Peraturan atau Keputusan Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, Menteri, Bank Indonesia, Badan atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan ini.

Pasal 5
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya, dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2) Mahkamah Agung berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-undang terhadap Undang-Undang.
(3) Pengujian dimaksud ayat (2) bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi.
(4) Keputusan Mahkamah Agung mengenai pengujian sebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat (3) bersifat mengikat.

Pasal 6 Tata cara pembuatan Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dan pengujian Peraturan Perundang-undangan oleh Mahkamah Agung serta pengaturan ruang lingkup Keputusan Presiden diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.

Pasal 7 Dengan ditetapkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan ini, maka Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang Republik Indonesia dan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/1978 tentang Perlunya Penyempurnaan yang Termaktub dalam pasal 3 ayat (1) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/1973 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 8 Ketetapan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Agustus 2000 MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYATREPUBLIK INDONESIA
KETUA,
Prof. Dr. H.M. Amien Rais
WAKIL KETUA, Prof.Dr.Ir. Ginandjar Kartasasmita
WAKIL KETUA, Ir. Sutjipto
WAKIL KETUA, H. Matori Abdul Djalil
WAKIL KETUA, Drs. H.M. Husnie Thamrin ,
WAKIL KETUA, Dr. Hari Sabarno, MBA, MM
WAKIL KETUA, Prof.Dr. Jusuf Amir Feisal, S.Pd.
WAKIL KETUA, Drs. H.A. Nazri Adlani